Jangan Diam Saja

Gue termasuk orang yang nggak bisa diem kalo ngerasa ada yang janggal pada suatu prosedur dan apalagi dirugiin. Bukan berarti gue langsung ngajak berantem pada saat itu juga, tapi setidaknya gue atur strategi untuk protes. Soalnya pernah gue ngerasa males untuk memperpanjang urusan, tapi pada akhirnya gue jadi misuh-misuh sendiri…

Contohnya begini (ini tentang yang males dulu): setahun lebih yang lalu gue ditawari (bukan mengajukan lho) fasilitas personal loan dari sebuah bank swasta asing. Kebetulan memang pada saat itu gue lagi butuh juga karena tagihan kartu kredit menggunung dan gue ribet sendiri mikir yang mana jatuh temponya kapan, dll (walaupun gue tau bayar utang pake utang sama aja hasilnya). Eniwei, si telemarketer ini gigih sekali menawarkan fasilitas ini, yang padahal gue juga udah “hayu!”, sampe2 dia kekeuh gue harus ngisi formulirnya cepet2. Yah, gue pikir ni orang kayaknya kebelet dapet komisi (yang mungkin kalo gue ngisi formulirnya masuk ke bulan berikutnya, dia harus nunggu sebulan lagi baru dapet komisi). Gue udah sempet menegur dengan bilang, “Mbak, yang butuh saya kok situ yang ngotot sih?” dan akhirnya dia mau menunggu gue dengan sabar mengisi formulir (dia sempet bilang tandatangan aja, nanti isinya dia yang nulis… Enak aja, duit bo urusannya!). Singkat cerita, formulir sudah diserahkan dan beberapa hari kemudian datang SMS dari pihak bank yang menyatakan bahwa pinjaman sudah disetujui. Lantas gue menelepon CS untuk mengaktifkan pinjaman tersebut. Di situ gue baru kaget, karena yang gue ajukan hanya X rupiah dengan jangka waktu pelunasan 3 tahun, tau2 yang disetujui Y rupiah (nyaris dua kali lipatnya) dengan jangka waktu pelunasan 2 tahun. Shit! Ya jelas kacau balau dong itungan gue! Tapi dasar emang butuh, ya gue aktifkan juga. Tidak lama setelah itu, si telemarketer kembali menelepon mengucapkan selamat. Tidak lupa gue bertanya kenapa pinjaman gue jadi berubah begitu. Dia dengan santainya menjawab, “Soalnya saya lihat gaji ibu cukup besar jadi sayang kalau hanya pinjam segitu…” Logika bodoh. Kalo judulnya dapet hadiah duit dari langit boleh aja, Mbak. Emangnya gaji besar artinya gue punya duit nganggur? Keauan banget ngejar komisi gede sih ni orang… Lebih kesel lagi waktu beberapa hari kemudian si telemarketer kembali menghubungi gue trus bertanya, “Gift buat saya mana?” Uh, pingin gue tembak mati aja si telemarketer itu sekalian. Udah bikin orang berutang lebih banyak dari semestinya, masih minta bagian lagi (blom cukup tu komisi?). Gue langsung bilang, “Oh, saya nggak biasa begitu tuh” yang langsung membuat dia canggung lalu meminta diri. Sebenernya gue sempet berniat mengadukan masalah ini ke bank ybs, tapi akhirnya gue pikir nanti status pinjaman gue malah jadi ribet. Jadi yah akhirnya gue milih dapet duit cepet saat itu, tapi sampe sekarang masih ngebayar sejumlah besar uang per bulannya, yang kalo dipikir2 lumayan banget buat tabungan anak gue. Huh…

Nah, kasus di mana gue nggak diem aja terbukti membuat gue lega dan merasa puas (dalam arti ternyata keadilan itu bisa diperjuangkan kok!). Contoh simpelnya adalah waktu gue honeymoon ke Bali tahun 2003 dan pada saat itu sedang ada promo Visa di beberapa tempat perbelanjaan di Bali. Gue sempet beli oleh-oleh cukup banyak di salah satu toko wangi2an (aromatherapy, incense stick dan teman2nya), yang menurut buku panduan promo Visa kalo kita belanja sekian rupiah akan dapat diskon sekian persen. Waktu membayar, gue nanya perihal ini, dan dijawab oleh kasirnya, “Oh, itu harus lebih dari 250ribu”. Langsung gue balas, “Lho, kan saya belanja lebih dari 250ribu?”. Entah dicari2 atau emang pada dasarnya korslet, dia ngomong lagi, “Tapi jarang tuh orang pake ini”. Naoooon? Yah pokoknya pada intinya gue nggak berhasil mendapatkan diskon dimaksud. Tapi setelah membayar (dengan gondok… em, maksudnya dengan kartu Visa dalam keadaan gondok berat), gue pastikan gue simpan struknya dan gue punya contact details mereka. Sesampainya di Jakarta, gue menulis email ke manajemen toko itu, menjelaskan sampe ke percakapan2nya, melampirkan struk dan slip Visa, dan meminta penjelasan dari mereka.  Nggak sampe seminggu datang jawaban dari mereka bahwa gue berhak mendapatkan diskon itu dan mereka langsung berniat mengirimkan kelebihan duit gue (yang sampe seratus ribu juga nggak) ke account gue. It felt good!

Contoh kedua adalah ketika pada suatu saat gue beli deodorant (yang biasa gue beli) dan mendapati setelah beberapa kali pemakaian bahwa isinya ‘kopong’ (ini jenis yang stick). Gue menelepon hotline-nya dan menyampaikan keluhan. Mereka langsung menanggapi dengan memberitahu prosedur apa yang harus gue lakukan. Gue mengikutinya, merely dengan harapan mereka tahu bahwa ada produk cacat di pasaran. Beberapa minggu berselang gue mendapatkan surat terima kasih dari mereka, tapi anehnya berisi seakan2 mereka pernah mengirimkan sesuatu sebelumnya kepada gue. Gue mencoba follow-up lagi dengan menghubungi mereka, bertanya apakah sebelum surat dimaksud mereka pernah mengirimkan sesuatu? Mereka menjawab bahwa mereka mengirimkan produk pengganti–which is a very good gesture from them. Gue bilang gue belum terima, dan mereka dengan sopannya menanyakan alamat lain yang bisa mereka kirimi produk pengganti tersebut. Nggak disangka-sangka, beberapa hari kemudian produk penggantinya datang: bukan cuma satu tapi tiga sekaligus! Bukti kan, kalo loe mau speak up, gak akan rugi deh…

Saat ini ada 3 kasus “Jangan Diam Saja” yang sedang akan gue follow up:
1. Masalah penipuan promo Carrefour (gue dua kali dapet surat pernyataan pemenang dari 2 penipu berbeda dengan hadiah utama yang sama (bodohnyaaa)). Walaupun Carrefour masih setiap kali memasang peringatan ttg ini, gue pikir masalahnya nggak akan tuntas cuma dengan mengharapkan konsumen berhati2. Ada gak sih yang mengusut kenapa para penipu ini bisa mendapatkan kupon promo yang berisi data2 kita, hayo? Padahal perjanjiannya kan setelah diundi, kupon2 dimusnahkan. Jadi Carrefour yang nggak memusnahkan kupon, atau ada pihak yang meng-intercept ketika kupon sedang dikirim ke tempat pengundian? Gue sih curiga yang terakhir, karena gue pernah kena kasus ngajuin Sumber Kredit di Carrefour yang sama dan ternyata formulir gue nggak pernah nyampe ke GE, tapi dipake sama vendor lain untuk menyuruh gue beli barang di tempatnya dia aja, nggak perlu di Carrefour (jadi biar kita daftar Sumber Kreditnya lewat toko dia sekalian).
2. Masalah promo Hore-Hore Hero yang masih berlangsung sekarang. Ceritanya kan kalo pake kartu kredit Citibank kita berhak dapet kupon & pin 2 kali lipat dari jumlah yang mestinya didapet (jadi kalo loe belanja 75ribu bayar cash, dapet kupon 1 dan pin 1, sementara kalo pake kartu kredit Citibank, dapet kupon 2 dan pin 2). Di Hero Kemang tanpa macem2 kasirnya langsung melakukannya. Tapi waktu gue belanja di Hero Mampang, si kasir malah minta slip bukti pembayaran kartu kredit (yang jelas2 bertuliskan Cardholder Copy) untuk ditukarkan dengan bonus kupon dan pin-nya. Ini jelas janggal, walaupun si kasir beralasan itu untuk bukti mereka ke Citibank (hey, kalian tuh megang Vendor Copy dan Issuer Copy, bukan? Masih kurang bukti di mana?). Gue nggak masalahin kupon & pin-nya yang gratis (emangnya gue se-desperate itu)? Tapi setelah besoknya gue buktikan bahwa pada saat belanja di Hero Kemang (lagi), si kasir malah dengan sadar memberikan gue ekstra kupon & pin saat tahu gue membayar dengan kartu Citibank, setelah yang di Hero Mampang bersikeras bahwa di semua Hero berlaku seperti itu (minta slip), gue ngebayangin aja berapa orang yang nggak tau (atau males repot–> yes, I’m doing them a favor) yang diperlakukan nggak adil di Hero Mampang…
3. Hadiah promo dari Good Housekeeping yang gue dapet bulan Mei. Gue udah ngambil ke sana di awal bulan Juli (masih belum tenggat), tapi katanya hadiahnya belum datang. Gue disuruh ninggalin nama dan alamat agar mereka bisa mengirimkan hadiahnya. Sekarang udah pertengahan Agustus dan belum ada kabar sama sekali…

Repot memang jadi orang yang nggak bisa diem begitu aja, but it’s worth it, trust me.

3 thoughts on “Jangan Diam Saja

  1. Hi Lala, met kenal. Seneng ketemu org yg juga tidak diam kalo melihat sesuatu yg tidak beres. Kebayakan teman2 saya melihat saya dengan heran dan berpendapat: biarin aja, yg waras ngalah atau: biarin deh, kita cuma konsumen/karyawan/penduduk miskin/kecil/lemah, etc. Kalo semua begitu, kapan majunya? Tetap semangat protes yah :D.

Leave a reply to Bayu Amus Cancel reply